Friday, April 27, 2012

noun clause

See The Sentence for definitions of sentence, clause, and dependent clause.

A sentence which contains just one clause is called a simple sentence.
A sentence which contains one independent clause and one or more dependent clauses is called a complex sentence. (Dependent clauses are also called subordinate clauses.)
There are three basic types of dependent clauses: adjective clauses, adverb clauses, and noun clauses. (Adjective clauses are also called relative clauses.)
This page contains information about noun clauses. Also see Adjective Clauses and Adverb Clauses.

A. Noun clauses perform the same functions in sentences that nouns do:
A noun clause can be a subject of a verb:
What Billy did shocked his friends.
A noun clause can be an object of a verb:
Billy’s friends didn’t know that he couldn’t swim.
A noun clause can be a subject complement:
Billy’s mistake was that he refused to take lessons.
A noun clause can be an object of a preposition:
Mary is not responsible for what Billy did.
A noun clause (but not a noun) can be an adjective complement:
Everybody is sad that Billy drowned.

B. You can combine two independent clauses by changing one to a noun clause and using it in one of the ways listed above. The choice of the noun clause marker (see below) depends on the type of clause you are changing to a noun clause:
To change a statement to a noun clause use that:
I know + Billy made a mistake =
I know that Billy made a mistake.
To change a yes/no question to a noun clause, use if or whether:
George wonders + Does Fred know how to cook? =
George wonders if Fred knows how to cook.
To change a wh-question to a noun clause, use the wh-word:
I don’t know + Where is George? =
I don’t know where George is.
C. The subordinators in noun clauses are called noun clause markers. Here is a list of the noun clause markers:
that
if, whether
Wh-words: how, what, when, where, which, who, whom, whose, why
Wh-ever words: however, whatever, whenever, wherever, whichever, whoever, whomever

D. Except for that, noun clause markers cannot be omitted. Only that can be omitted, but it can be omitted only if it is not the first word in a sentence:
correct:
Billy’s friends didn’t know that he couldn’t swim.
correct:
Billy’s friends didn’t know he couldn’t swim.
correct:
Billy’s mistake was that he refused to take lessons.
correct:
Billy’s mistake was he refused to take lessons.
correct:
That Billy jumped off the pier surprised everyone.
not correct:
* Billy jumped off the pier surprised everyone.

E. Statement word order is always used in a noun clause, even if the main clause is a question:
not correct:
* Do you know what time is it? (Question word order: is it)
correct:
Do you know what time it is? (Statement word order: it is)
not correct:
* Everybody wondered where did Billy go. (Question word order: did Billy go)
correct:
Everybody wondered where Billy went. (Statement word order: Billy went)

F. Sequence of tenses in sentences containing noun clauses:
When the main verb (the verb in the independent clause) is present, the verb in the noun clause is:
future if its action/state is later
He thinks that the exam next week will be hard.
He thinks that the exam next week is going to be hard.
present if its action/state is at the same time
He thinks that Mary is taking the exam right now.
past if its action/state is earlier
He thinks that George took the exam yesterday.
When the main verb (the verb in the independent clause) is past, the verb in the noun clause is:
was/were going to or would + BASE if its action/state is later
He thought that the exam the following week was going to be hard.

He thought that the exam the following week would be hard.

past if its action/state is at the same time

He thought that Mary was taking the exam then.
past perfect if its action/state is earlier
He thought that George had taken the exam the day before.
If the action/state of the noun clause is still in the future (that is, after the writer has written the sentence), then a future verb can be used even if the main verb is past.
The astronaut said that people will live on other planets someday.
If the action/state of the noun clause continues in the present (that is, at the time the writer is writing the sentence) or if the noun clause expresses a general truth or fact, the simple present tense can be used even if the main verb is past.
We learned that English is not easy.
The boys knew that the sun rises in the east.

G. Here are some examples of sentences which contain one noun clause (underlined) and one independent clause:
Noun clauses as subjects of verbs:
That George learned how to swim is a miracle.
Whether Fred can get a better job is not certain.
What Mary said confused her parents.
However you learn to spell is OK with me.
Noun clauses as objects of verbs:
We didn’t know that Billy would jump.
We didn’t know Billy would jump.
Can you tell me if Fred is here?
I don’t know where he is.
George eats whatever is on his plate.
Noun clauses as subject complements:
The truth is that Billy was not very smart.
The truth is Billy was not very smart.
The question is whether other boys will try the same thing.
The winner will be whoever runs fastest.
Noun clauses as objects of prepositions:
Billy didn’t listen to what Mary said.
He wants to learn about whatever is interesting.
Noun clauses as adjective complements:
He is happy that he is learning English.
We are all afraid that the final exam will be difficult.

 http://faculty.deanza.edu/flemingjohn/stories/storyReader$23

Thursday, April 5, 2012

Conditional Sentences

Conditional Sentences (Type 1)

conditional sentences (kalimat pengandaian). Conditional sentences terdiri dari dua bagian, yaitu subordinate clause (if-clause) yang merupakan pernyataan syarat dan main clause yang merupakan akibat terpenuhi atau tidaknya syarat yang terkandung dalam subordinate clause.
Conditional sentences ada tiga jenis. Berikut ini akan kita bahas satu-persatu :
if clause : simple present tense
main clause : simple future tense
Pada tipe 1 ini suatu tindakan dalam main clause akan terjadi bila syarat dalam if-clause terpenuhi.
Example :
If I have a lot of money, I will buy a new car.
Conditional Sentences (Type 2)
if clause : simple past tense
main clause : past future tense (S + would + V1)
Tipe ini digunakan untuk menyatakan suatu tindakan/keadaan yang berlawanan/ bertentangan dengan kenyataan pada saat ini. Sebenarnya syarat dalam if-clause bisa saja terpenuhi, tetapi kemungkinannya sangat kecil.
Example :
If you studied hard, you would pass the exam.
(Real fact : You don’t study hard.)
Conditional sentence type 3
if clause : past perfect tense (S + had + V3)
main clause : past future perfect (S + would have + V3)
Conditional sentence type 3 ini digunakan untuk menyatakan suatu syarat yang tidak mungkin lagi dipenuhi karena waktunya telah berlalu. Dengan kata lain, kenyataan bertentangan/berlawanan dengan keadaan di masa lampau.
Example :
If I had studied hard, I would have passed the exam.
(Real fact : I didn’t study hard, so I didn’t pass the exam.
Atau, I didn’t pass the exam because I didn’t study hard.)

Sunday, March 11, 2012

artikel ekonomi pembangunan


7 langkan meraih keberhasilan & kesuksesan


1.       Memiliki Impian dan tujuan
2.       Memfisualisasikan impian kita dengan membuat dream book
3.       Berfikir positif
4.       Mempunyai loyalitas yg tinggi terhadap perusahaan dimana kita bekerja
5.       3B (berusaha,berdoa,bersabar)
6.       Libatkan Allah dalam meraih kekesuksesan kita
7.       Yakin yakin dan yakin


Percaya anda akan berhasil?,maka anda akan benar-benar berhasil, semua yg kita inginkan,bisa kita wujudkan denga bagaimana kita menyikapi semua itu. Tanamkan dalam diri kita bahwa kita akan berhasil. Yang penting kita yakin yakin dan yakin.


Keberhasilan berarti memperoleh kehormatan,kepemimpinan,dan mempunyai rasa hormat kepada diri sendiri.keberhasilan berati mendapatkan kebahagian yg lebih riil dari hidup ini ,mampu mengerjakan hal-hal yg lebih berguna bagi diri sendiri dan untuk orang banyak. Keberhasilan


Keberhasilan = kesuksesan
Kesuksesa adalah hak bagi semua orang yg hidup didunia ini. Karna hidup hanya 1 kali jadi sukses dan berhasil adalah dharga mati.

Berikan motivasi yg membangun bagi pikiran kita,agar pikiran kita selalu memikirkan hal-hal yg positif.Motivasi yang terhebat dan datang dari dalam diri sendiri adalah cinta. Cinta merupakan sumber motivasi yang hebat nan dahsyat loh. Motivasi karena cinta ini dapat memberi dorongan kuat dalam berbagai hal. Contohnya seorang janda tua mampu bertahan hidup dan mencari nafkah bagi anak yang dicintainya, seorang bapak rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan keluarganya saat terkena musibah.
IMPIAN adalah suatu keinginan yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam hingga dapat menggunakan fikiran bagaimana cara dan bertindak untuk mewujudkannya. Tidak peduli bagaimana pun sulitnya tidak akan mengalahkan Impian tersebut."

Maka temukanlah IMPIAN mu dari sekarang, itu akan menuntunmu kearah kamu akan jadi nantinya. Jangan takut untuk mempunyai Mimpi BESAR. Kalau Mimpi hanyalah khayalan kosong yang semua orang dapat memilikinya. Tapi hanya orang-orang yang ingin sukseslah yang berani menanamkan IMPIANNYA.


Berpikir positif merupakan sikap mental yang melibatkan proses memasukan pikiran-pikiran, kata-kata, dan gambaran-gambaran yang konstruktif (membangun) bagi perkembangan pikiran anda. Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan,sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan anda. Apapun yang pikiran anda harapkan, pikiran positif akan mewujudkannya. Jadi berpikir positif juga merupakan sikap mental yang mengharapkan hasil yang baik serta menguntungkan.


Loyalitas adalah suatu kata yang sangat disukai oleh para pengusaha bila memandang karyawannya. Pengusaha mengartikan loyalitas adalah suatu kesetiaan karyawannya kepada dia, kepada atasan, atau perusahaannya.

Bersabar adalah tegar dan tidak berkeluh kesah.
Berusaha adalah melakukan usaha  atau bekerja dengan giat
Berdoa adalah meminta pertolongan petunjuk dan jalan kepada tuhan.

Yakin adalah percaya. Jadi kita harus percaya bahwa kita akan berhasil dan sukses.


sukses adalah harga mati!!!!!!!!!!!!!!!!!
                                       
                                                                                                                                                           

Thursday, March 8, 2012

adverbial clause

 An adverbial clause is a dependent clause that functions as an adverb. In other words, it contains a subject (explicit or implied) and a predicate, and it modifies a verb.
  • I saw Joe when I went to the store. (explicit subject I)
  • He sat quietly in order to appear polite. (implied subject he)
According to Sidney Greenbaum and Randolph Quirk, adverbial clauses function mainly as adjuncts or disjuncts. In these functions they are like adverbial phrases, but due to their potentiality for greater explicitness, they are more often like prepositional phrases (Greenbaum and Quirk,1990):
  • We left after the speeches ended. (adverbial clause)
  • We left after the end of the speeches. (adverbial prepositional phrase)
Contrast adverbial clauses with adverbial phrases, which do not contain a clause.
  • I like to fly kites for fun.
Adverbial clauses modify verbs, adjectives or other adverbs. For example:
  • Hardly had I reached the station when the train started to leave the platform.
The adverbial clause in this sentence is "when the train started to leave the platform" because it is a subordinate clause and because it has the trigger word (subordinate conjunction) "when".
 Definition
  An adverbial clause is a clause that has an adverb-like function in modifying another clause.

Discussion
  An adverbial clause is likely to be distinct in its syntax or verb morphology.
Example (English)
 
  • He kept quiet in order to avoid trouble.

  • Generic
      An adverbial clause is a kind of
     
    Sources
      Hartmann and Stork 1972 6
      Pei and Gaynor 1954 7
      Thompson and Longacre 1985 171–172, 177
      Crystal 1980 61

    Context for this page:

    Go to SIL home page This page is an extract from the LinguaLinks Library, Version 5.0 published on CD-ROM by SIL International, 2003. [Ordering information.]
    Page content last modified: 5 January 2004

    adverbial clause

    adverbial clause
    Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
    Langsung ke: navigasi, cari

    adverbial 
    clause adalah klausa dependen yang berfungsi sebagai kata keterangan. Dengan kata lain, berisi subjek (eksplisit atau tersirat) dan predikat, dan memodifikasi kata kerja.

         * Aku melihat Joe ketika saya pergi ke toko. (tergantung eksplisit I)
         * Dia duduk dengan tenang agar tampil sopan. (tergantung tersirat dia)

    Menurut Sidney Greenbaum dan Randolph Quirk, klausa adverbial berfungsi terutama sebagai tambahan berarti atau disjuncts. Dalam fungsi mereka seperti frase adverbial, namun karena potensi mereka untuk ketegasan yang lebih besar, mereka lebih sering seperti frase preposisional (Greenbaum dan Quirk, 1990):

         * Kami tersisa setelah pidato berakhir. (klausa adverbial)
         * Kami meninggalkan setelah akhir pidato. (frase preposisional adverbial)

    Kontras adverbial klausa dengan frase adverbial, yang tidak mengandung klausa.

         * Aku ingin terbang layang-layang untuk bersenang-senang.

    Klausa adverbial memodifikasi kata kerja, kata sifat atau kata keterangan lainnya. Sebagai contoh:

         * Hampir tidak pernah aku sampai stasiun ketika kereta mulai meninggalkan platform.

    Klausa adverbial dalam kalimat ini adalah "ketika kereta mulai meninggalkan platform" karena merupakan klausa bawahan dan karena memiliki kata pemicu (bersama bawahan) "kapan".

    Thursday, January 5, 2012

    resensi angkatan 66

    resensi novel angkatan ' 66

    IDENTITAS NOVEL
    Judul : Pada sebuah Kapal
    Karangan : NH. Dini
    Cetakan : Kedua, Tahun 1988
    Tebal : 350 halaman


    A. Sinopsis novel “Pada Sebuah Kapal”

    Sri dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat menyenangi seni. Ayahnya adalah seorang pelukis. Sejak kecil, dia dimasukkan ke sekolah tari. Sri adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka hidup dengan rukun di sebuah desa kecil yang terdapat di Semarang.
    Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dan setelah selesai sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang terdapat di kotanya.selama tiga tahun menjadi penyiar radio, ia mulai merasa jenuh dengan pekerjaannya. Sri mencoba mengikuti pendidikan pramugari yang ada di kota tersebut dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji di Jakarta. Tapi sayang, ia tidak lulus menjadi pramugari disebabkan adanya penyakit yang terdapat di dalam paru – parunya. Setelah berobat, Sri harus istirahat selama tiga bulan dan ia memilih sebuah desa di Salatiga untuk menyembuhkan penyakitnya.
    Setelah sembuh, Sri mencoba untuk hidup di Jakarta walaupun tidak menjadi pramugari. Ia yakin dengan bakat yang dimilikinya ia dapat hidup di Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang sebelumnya ditempati oleh kakaknya, Sutopo yang telah lebih dulu ke Jakarta. Kini Sutopo telah mempunyai rumah di Jakarta.
    Di Jakarta ia bekerja sebagai penyiar radio dan penari untuk acara – acara istana. Di gedung latihan itu, Sri menyukai seorang laki – laki. Namanya Basir. Tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain, Yus sangat mencintainya dan ingin menikah dengannya. Tapi Sri tidak begitu menyukai Yus, karena komunis. Selain itu ada Narti, teman kecil Sri waktu sekolah dasar yang sekarang menjadi pramugari. Narti sering main ke rumah paman Sri untuk mengunjunginya. Narti memperkenalkan kedua teman yang bekerja di angkatan udara kepada Sri, mereka bernama Saputro dan Mokar.
    Pertemanan Sri dan Suparto awalnya biasa – biasa saja. Seperti biasanya, sikap Saputro sangat lembut dan perhatian. Dari sikapnya itu, Sri mulai jatuh hati dengan sosok Saputro. Kedekatan antara Sri dengan Saputro semakin dekat setelah mereka bertemu di acara Malam Kesenian Kongres Pemuda se-Asia. Dari pertemuan itulah, keduanya yakin kalau mereka saling mencintai. Saputro memiliki jadwal penerbangan yang tidak menentu sehingga kedatangannya tidak dapat diperkirakan oleh Sri. Setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia, mereka memutuskan untuk tunangan dan segera menikah. Setelah kembali dari Cekoslovakia, Saputro menemui Sri dan memberikan sebuah cincin sebagai tanda pengikat diantara mereka. Malam itu pun mereka habiskan bersama.
    Seperti biasanya Saputro harus melakukan penerbangan dengan jadwal yang tidak dapat dipastikan. Walaupun jarak yang jauh, mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan. Tapi kebahagiaan yang sebentar lagi akan diraih oleh Sri harus bergantikan air mata, karena Saputro tewas saat penerbangan dari Bandung menuju Jakarta karena cuaca yang buruk.
    Kabar ini sangat melukai hati Sri. Dia seperti tidak memiliki semangat hidup, dan dia memutuskan untuk menenangkan diri. Dalam kesedihannya, Carl selalu menghibur Sri. Carl adalah teman Sutopo yang sebenarnya dia juga mencintai Sri. Namun ada satu hal yang tidak disukai Sri dari Carl, dia terlalu sombong dengan kekayaan yang dimiliki olehnya walaupun sikapnya baik terhadap Sri.
    Sepuluh bulan setelah wafatnya Sutopo, Sri memutuskan akan menikah dengan Charles yang berkebangsaan Perancis. Charles adalah seorang diplomat yang sangat tertarik dengan kebudayaan. Keputusannya untuk menikah dengan Charles ditentang oleh keluarga, terutama Sutopo. Kakaknya itu tidak setuju kalau Sri menikah dengan Charles. Sutopo yakin Sri tidak akan bahagia menikah dengan Charles karena Sri belum begitu mengenal Charles. Namun Sri tidak peduli dengan nasehat keluarga. Ia tetap menikah dengan Charles dan kewarganegaraannya menjadi Perancis. Setelah menikah, mereka bermukim di Kobe, Jepang. Kehidupan rumah tangga Sri tidak bahagia, Charles yang pada awalnya baik, perhatian sebelum menikah, kini berubah menjadi seorang yang pemarah, pelit, dan suka membentak – bentak. Sri yang sejak awal tidak mencintai Charles, menjadi semakin benci karena sikap yang ditunjukan Charles. Dari Charles, Sri melahirkan seorang anak perempuan.
    Pada kesempatan liburan, Charles mengajak anak dan istrinya untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Setelah dari Indonesia, mereka berangkat ke Saigon. Di sana Charles Menyuruh kepada istrinya untuk melakukan perjalanan dengan kapal. Sementara dirinya akan mengunjungi beberapa Negara yang akan dikunjunginya. Sri tidak keberatan melakukan perjalanan dengan kapal berdua dengan anaknya yang masih berumur dua tahun. Karena dia tidak pernah mengharapkan suaminya yang pemarah itu. Hanya kewajibanlah yang mengikat Sri untuk setia terhadap suaminya.
    Perjalanan dari Saigon menuju Marseille membutuhkan waktu yang lumayan lama, sekitar tiga bulan. Di kapal itulah Sri bertemu dengan Michel, seorang komandan kapal yang juga kecewa dengan istrinya. Sejak pertama melihatnya, Sri sudah tertarik karena sikapnya dan pada beberapa kesempatan, mereka bertemu. hubungan antara Sri dengan Michel semakin dekat setelah acara pesta dansa. Sejak itu mereka sering bertemu dan cinta pun tumbuh diantara mereka berdua. Awalnya Sri berpikir untuk selalu setia terhadap suaminya yang tidak pernah dicintainya, tapi Sri juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Dia sangat mencintai Michel, dan Michel pun demikian. Sosok Michel mengingatkan Sri pada cintanya yang telah hilang. Selama perjalanan itulah dia menemukan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dirasakan olehnya.
    Setelah sampai di Marseille, Charles sudah menunggunya dan Sri pun harus berpisah dengan kekasihnya Michel. Setelah pekerjaan suaminya selesai, mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri berjalan seperti biasanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya Michel mengabarkanakan lewat telegram bahwa dia akan ke Yokohama. Sri sangat gembira mendengar kabar ini. Akhirnya Michel dan Sri bertemu, mereka saling mencintai dan pada kesempatan – kesempatan yang jarang itu mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sri dan Michel menyadari akan keterikatan mereka terhadap pernikahan yang mereka jalani dengan pasangan masing – masing. Namun keadaan itu tidak menghalangi cinta keduanya. Sri sadar akan kehidupan Michel, dan dia akan selalu mencintai Michel.




    B. Unsur Intrinsik novel “Pada Sebuah Kapal”

    1. Tema
    Perselingkuhan yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan ketegaran dalam menghadapi semua masalah yang dihadapi dalam hidup.
    2. Latar atau Setting
    a. Semarang
    b. Jakarta
    c. Kobe, Jepang
    d. Kapal
    e. Perancis
    f. Yokohama
    3. Alur atau Plot
    a. Tahapan Permulaan
    Sri dibesarkan dalam keluarga yang kental dengan darah seniman. Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Seperti kakak – kakaknya, dia dimasukkan ke sekolah tari oleh ayahnya. Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal. Setelah selesai dari sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang ada di kotanya, Semarang. Tiga tahun menjadi penyiar radio, Sri mulai merasa jenuh. Dia mencoba mengikuti pendidikan pramugari dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji di Jakarta. Sri mengikuti berbagai macam tes. Hasil tes dapat diketahui beberapa bulan kemudian. Berdasarkan hasil tes yang diterima, Sri mengidap penyakit paru – paru, sehingga dia tidak diterima menjadi pramugari. Sri melakukan pengobatan dan istirahat total dari pekerjaannya selama dua bulan. Dia memilih tinggal di Salatiga untuk menyembuhkan lubang yang terdapat di paru – parunya. Setelah sembuh, Sri memutuskan pergi ke Jakarta. Dia tinggal di rumah pamannya yang dulu ditempati Sutopo, kakaknya yang telah lebih dulu ke Jakarta. Sekarang Sutopo memiliki rumah sendiri di Jakarta.
    b. Tahapan Pertikaian
    Selain bekerja sebagai penyiar radio, Sri menjadi penari untuk menari di istana pada perayaan – perayaan tertentu. Rekan – rekan kerjanya, sebagian tidak menyukai Sri, namun Sri tetap sopan terhadap mereka dan bersabar menghadapi semuanya. Di Jakarta, Sri bertemu dengan teman kecilnya waktu sekolah dasar, namanya Narti. Sekarang Narti bekerja sebagai pramugari. Dia sering menemui Sri untuk sekedar makan atau nonton film. Dari Narti, Sri mengenal Mokar dan Saputro yang merupakan pilot angkatan udara. Selain itu, Carl seorang warga negara asing, kawan Sutopo, dan Charles yang berkebangsaan Perancis yang sangat tertarik dengan kebudayaan. Setelah beberapa lama tinggal di Jakarta, Ibu Sri meninggal.
    c. Tahapan Perumitan
    Sri bertemu lagi dengan Saputro pada Malam Kesenian Pemuda se- Asia. Pada saat itu Sri merasakan ada yang berbeda dalam dirinya, begitu melihat sikap Saputro yang seperti mencintanya. Padahal sebelum – sebelumnya mereka sering pergi bersama tapi bersama Narti dan Mokar. Sejak malam itu, keduanya semakin dekat dan menjalin kasih. Setelah merasa cukup, mereka memutuskan akan tunangan dan segera menikah setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia. Namun impian yang telah dirancang itu harus terkubur dalam – dalam, karena Saputro tewas saat penerbangan Bandung – Jakarta. Hati Sri hancur mendengar kabar buruk itu, Sri tenggelam dalam kesedihan. Di saat yang sulit – sulit itu, Carl selalu menghibur Sri, karena dari awal dia juga sudah menyukai Sri. Namun Sri menolak cinta Carl. Setelah sepuluh bulan kematian tunangannya, Sri memutuskan untuk menikah dengan Charles. Walaupun sebenarnya, dia idak mencintai Charles. Keputusan Sri untuk menikah dengan Charles tidak disetujui oleh keluarga, terutama kakaknya. Sutopo yakin kalau adiknya tidak akan bahagia jika menikah dengan Charles, karena Sri belum terlalu mengenal Charles dengan baik. Namun Sri keras kepala, Dia tetap menikah dengan Charles
    d. Tahapan Puncak ( klimaks)
    Setelah menikah dengan Charles, kewarganegaraan Sri berubah menjadi Perancis mengikuti suaminya. Mereka menetap di Kobe-Japang. Pernikahan Sri dengan Charles tidak bahagia, walaupun Charles selalu bilang mencintainya. Setelah menikah, sikap Charles berubah. Charles tidak lagi seperti yang dikenal Sri sebelum menikah. Sekarang Charles suka marah – marah dan membentak Sri. Sikap ini membuat Sri semakin membenci Charles. Dari Charles, Sri melahirkan anak perempuan. Saat umur anaknya dua tahun, Charles mengajak istrinya berkunjung ke beberapa Negara. Setelah satu bulan berada di Indonesia, mereka terbang ke Saigon. Disana Charles meminta istri dan anaknya untuk melakukan perjalanan dengan kapal, sedangkan dirinya akan mengunjungi Negara – Negara yang ingin dikunjunginya.di kapal itulah Sri menemukan kebahagiaan yang selama ini telah hilang.
    Dalam perjalanan dari Saigon menuju Marseille, Sri bertemu dengan seorang komandan kapal bernama Michel Dubanton. Sikap yang ditunjukkannya membuat Sri jatuh hati pada komandan tersebut. Dalam beberapa kesempatan, mereka bertemu dan mulai mengenal satu sama lain. Sri yang tidak bahagia dengan pernikahannya dengan Charles, dan Michel yang kecewa dengan istrinya Nicole, mencoba mencari kebahagiaan di luar pernikahannya. Perjalanan dari Saigon menuju Marseille merupakan hal ang sangat membahagiakan bagi Sri, walaupun dia tahu menghianati suaminya merupakan suatu kesalahan, tapi dia tidak menyesalinya.
    e. Tahapan Peleraian
    Setelah perjalanan berakhir, Sri dan Michel harus berpisah. Sri sangat sedih, dia menangis karena perpisahan mengingatkan dirinya akan seseorang yang telah meninggalkannya. Setelah urusan suaminya selesai, mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri kembali seperti semula rumah tangganya dilalui dengan pertengkaran – pertengkaran. Sampai – sampai Sri memutuskan meminta cerai kepada suaminya dengan alasan sudah tidak mencintainya lagi. Tapi Charles menolak dengan alasan anak. Setelah beberapa lama tidak bertemu, Michel mengabarkan akan ke Yokohama dan kesempatan itu tidak disia – siakan oleh mereka.
    f. Tahapan Akhir
    Sri menyadari bahwa dia dan Michel terikat oleh pasangan masing – masing. Apalagi Michel adalah seorang pelaut ang sering jauh darikeluarga, di pasti sering bertemu dengan perempuan – perempuan dari berbagai negara yang mungkin saja menarik hatinya. Walaupun Michel harus mengkhianati cintanya, tapi Sri akan selalu mencintai Michel.
    4. Sudut Pandang
    Orang pertama. Karena dalam cerita, pengarang bertindak sebagai tokoh utama.
    5. Penokohan
    a. Sri : penuh semangat, tegar, keras kepala, sabar.
    b. Michel : sabar, penyayang.
    c. Saputro : sabar, penyayang.
    d. Charles : pemarah, pelit, egois.
    e. Sutopo : perhatian, suka menasehati.
    f. Carl : baik hati, sedikit sombong.
    6. Gaya Penulisan
    Novel “Pada Sebuah Kapal” tidak jauh berbeda dengan novel – novel karya NH. Dini yang lainnya. Namun novel ini bukan merupakan kisah nyata yang dialami NH. Dini, walaupun menggunakan sudut pandang orang pertama dan seting tempat serta tokoh – tokoh yang diceritakan di dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan NH. Dini. Dalam penulisannya, banyak terdapat gaya bahasa seperti personifikasi, hiperbola, dan simile.
    7. Amanat
    Manusia harus selalu sabar dalam menghdapi semua masalah kehidupan, harus mau menerima nasihat dari orang – orang terdekat, dan harus bertanggung jawab dengan langkah yang telah diambil.





    Kutipan novel “Pada Sebuah Kapal”

    *****
    Malam itu aku seperti menandatangani suatu perjanjian. Waktu aku mengawininya, aku tahu bahwa aku tidak mencintainya. Tetapi aku berkata kepada diriku sendiri untuk mencintainya, aku kawin dengan dia karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda – pemuda di negeriku menganggap seorang wanita yang telah kehilngan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. Aku tahu bahwa kawan – kawan Saputro mengetahui hubungan kami. Sebentar Nyoman nampak semakin mendekatiku. Beberapa kali dia membayangkan perhatiannya terhadapku. Tetapi aku tidak mau merubah rencana hidupnya. Apalagi karena aku tahu bahwa dia merasa tersiksa oleh kematian kawannya itu. Seolah tanggungjawabnyalah untuk memberiku kehidupan yang telah ku idamkan bersama Saputro. Mungkin Nyoman benar – benar mencintaiku. Tapi apakah arti perkataan “mungkin” bagiku sedangkan di lain pihak aku tahu benar bahwa Charles tidak dapat menunggu keputusanku untuk berangkat ke Jepang. Dan itulah sebabnya aku kawin dengan dia. Dia tidak kaya seperti Carl. Tapi darinya aku lebih berani mengharapkan kesetiaan daripada Carl. ( halaman 123)

    Kadang – kadang aku berpikir apakah yang ku dapat dari perkawinan? Ataukah itu disebabkan oleh perkawinan campuran? Ataukah itu disebabkan oleh nasibku? Benarkah seperti kata Sutopo bahwa aku tidak cukup mengenal orang yang ku kawin? Tapi aku telah membacai surat – suratnya. Kini aku mengerti bahwa pikiran orang di surat sama sekali tidak bisa ditandai sebagai cerminan watak. Dan apakah sebenarnya yang ku ketahui dari Charles sebelum perkawinan? Pikiranku terlalu kalut ketika aku sadar bahwa Saputro meninggal dan tetap meninggal untuk tidak akan muncul kembali. ( halaman 124)
    Anakku hampir berumur dua tahun. Dinas suamiku di negeri ini belum selesai. Tetapi dia diperbolehkan mengambil libur panjang, karena dia akan tinggal di tempat yang sama selama dua tahun lagi yang berarti setahun lebih lama daripada waktu dinas yang biasa. Rencananya amat berliku – liku. Kami akan bersama – sama menuju Indonesia dan tinggal di sana selama satu bulan. Dari sana kami ke Saigon, di mana Charles akan melepaskan kami, anakku dan aku, dengan sebuah kapal. Dia akan meneruskan perjalanan dengan pesawat terbang, melalui kota – kota di India yang telah lama ingin dikunjunginya. ( halaman 147)

    Aku tidak berkeberatan mengadakan perjalanan seorang diri. Tetapi cara suamiku melepaskan kami hanya untuk bersenang – senang, ini tidak ku setujui. Beberapa kawan orang Perancis berkata bahwa tidak seharusnya membiarkan suamiku leluasa seorang diri. Aku dengan tenang menjawab bahwa aku mempercayai Charles. Yang mengkhawatirkanku hanyalah kemungkinan ada kecelakaan, akan garis nasib yang tidak bias kita ketahui. Tiba – tiba aku menjadi cemas akan hal ini. Dengan ragu – ragu aku mengatakannya kepada Charles.
    “ Kau terpengaruh oleh omongan orang – orang Perancis itu.”
    Tidak, tentu saja ini tidak benar. Tetapi aku berpikir seketika bahwa Charles akan tersinggung kalau mengetahui bahwa orang – orang itu bias mempengaruhiku, lebih daripada dia sendiri bisa menyuapkan pendapatnya kepdaku.
    “Mereka memberiku pikiran untuk ku pertimbangkan. Aku memutuskan bahwa kau lebih baik tidak mengadakan perjalanan ke India kali ini. Kita akan ke sana bersama – sama.”
    “Bersama – sama? Dengan anak kita? Kau akan membawanya di bawah panas terik matahari ke tempat – tempat yang liar semacam itu? Tidak!” katanya dengan tegas. “Aku akan berangkat sendiri.”
    “Dia akan berumur tiga bulan lebih tua kalau kita kembali dari Eropa. Kita akan lebih leluasa mengajaknya kemana – mana.”
    “Aku akan lebih leluasa bepergian sendiri,” katanya memutuskan bicaraku. ( halaman 147)
    Dengan sedih aku memandang ke luar. Aku tidak pernah lagi memandangi wajahnya . bagiku segala yang membikinku sakit terkumpul di sana.
    “Aku sudah memutuskan untuk pergi seorang diri, dan akan tetap terjadi demikian,” katanya lagi.
    “Aku juga mempunyai keputusan,” kataku perlahan. “Kalau terjadi apa – apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau bersusah payah langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir dari kau. Dia akan ku berikan pada sebuah rumah penitipan anak – anak. Aku tidak mau membawanya bersamaku.”
    Sebentar dia tidak bersuara seolah tidak mengerti apa maksudku.
    “Bagaimana?” akhirnya dia bertanya.
    “Kalau kau mati dalam perjalanan itu, anak kita akan ku masukkan ke rumah sosial.”
    “Kau tidak bersungguh – sungguh. Kau gila!” serunya. Matanya melotot menatapku.
    “Aku mengatakan apa yang ku pikir.”
    “Aku tidak percaya!” dan dia memaksa merendahkan suaranya.
    “Kau seorang ibu, hanya dari kaulah anakmu akan mendapatkan cinta yang sebenarnya. Aku tidak percaya.”
    “Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Bagiku anakku merupakan penghambat yang besar kalau aku harus bekrja mencari nafkah di Eropa. Aku bukan lagi warga negara Indonesia dan aku tidak mau kembali ke negeriku untuk bekerja. Aku akan memilih negeriku yang kedua. Kau selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan sesuatu pun di negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan membuktikan bahwa aku juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana orang – orang di sana.”
    Dengan keheranan dia memandang kepadaku. Seolah mengukur tubuhku, melihat seekor binatang mengerikan yang baru kali itu dilihatnya. Tiba – tiba dia terduduk, menutup mukanya dengan kedua tangan.
    “Tidak, aku tidak percaya. Perempuan apakah yang telah ku kawini ini?” setengah berbisik aku mendengar kata – katanya. ( halaman 148)

    Sikapnya yang cengeng itu menggelikanku.
    “Aku juga berpikir laki – laki apakah yang telah ku kawini ini? Dia terlalu lama bersendiri, terlalu mau memerintah, dan selalu mau menang sendiri!” kataku dengan suara ejekan yang tidak bias ku tahan lagi. “Aku mau supaya kita benar – benar memikirkan perceraian kali ini. Sesampai di Eropa aku akan tinggal sendiri. Kau bawa anakmu kalau kau mau, aku tidak membutuhkannya.”
    Dan ku tinggalkan dia dengan segala pemikirannya kalau memang dia mau memikirkan sedikit mengenai hal kami berdu. Aku sudah terlalu kenyang akan sikapnya yang serba mau senang sendiri. Laki – laki itu bagiku tidak lain hanyalah sebuah onggokan daging yang sama sekali tidak menarik mataku. ( halaman 149)

    Rencananya tetap. Aku amat jarang berbicara dengan dia. Setelah tinggal satu bulan di negeriku, kami terbang ke Saigon. Anakku dan aku mengambil kapal yang menuju ke Perancis. Dan Charles mencium keningku untuk perpisahan.
    “Aku akan berusaha sampai di Marseille untuk menjemputmu,” katanya.
    Sebetulnya aku tidak perlu menjawab . tetapi kebutuhan untuk menyakiti hatinya mendorongku untuk mengatakan sesuatu.
    “Seperti kau mau. Tanpa kau kami juga bias turun dari kapal dan sampai di tempat yang kami tuju.”
    “Mengapa kau menjadi sejahat ini?” tanyanya.
    Aku mencibirkan bibir dengan tiada sadar
    “Ka tau benar aku tidak akan bepergian dengan perempuan lain, tidak akan menemui perempuan lain di India.”
    Oh, jadi dia mengiraku cemburu!
    “Aku tidak peduli apa yang kau kerjakan. Kau mau tidur dengan siapa pun, itu bukan lagi urusanku.”
    Dia tertegun seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku menghindarinya. ( halaman 149)

    Runtutan waktu – waktuku ku atur sebaik – baiknya. Pagi – pagi ku bawa anakku ke mamar bermain. Kemudian aku kembali ke kabin untuk mengerjakan cucian atau menggosok pakaian di ruang seterikaan yang ada di bagian belakang kapal. Sesudah itu aku biasanya duduk – duduk di geladak membaca buku, bercakap – cakap dengan penumpang lain, dengan Marianne, Tuan Haller yang semakin hari menjadi semakin perhatian, bermain kartu dengan Nyonya Bucler atau menulis surat. ( halaman 156)

    Aku mendapat beberapa orang kawan yang baik pada hari ketiga di kapal. Penumpang – penumpang kulit putih kebanyakan berjemur di bawah panas matahari untuk mendapatkan warna kecoklatan seperti kulitku. Ini menjadi tontonan yang paling ku senangi. Tidak hentinya mereka mengejekku karena aku takut akan menjadi hitam. Kalau berjalan di ata geladak, aku mencari tempat – tempat yang lindung. Dengan serta merta mereka tertawa dan menarik – narikku ke bagian yang kena panas. ( halaman 156)

    Keesokan harinya kapal sampai di Kolombo. Marianne dan keluarganya turun. Sebagian besar penumpang mencatatkan diri untuk menyertai tamasya yang diadakan oleh perusahaan kapal. Mereka mengunjungi pulau Sri Lanka, dan akan kembali ke pelabuhan keesokan harinya. Aku tidak turut dengan mereka, karena tidak ada yang menjaga anakku. ( halaman 163)

    Pada malam hari ku lihat ruang makan lengang. Di sudut sebelah kiri hanya ada dua orang. Sedangkan di sebelah kana nada seorang wanita tua bangsa Swedia, dan aku seorang diri di mejaku. Nyonya Bucler juga telah turun untuk kemudia menemui anaknya di Kalkuta. Tuan Haller mengikuti rombongan tamasya. Di tengah ruang ku lihat keempat perwira lengkap. Komandan Muret tidak kelihatan. Aku biasa makan sendirian. Tetapi di kapal, itu adalah kali yang pertama. ( halaman 164)

    Sesudah makan, aku menerima ajakan Nyonya bangsa Swedia untuk minum kopi bersama – sama. Percakapan dengan dia tidak mudah karena dia hanya mengerti bahasa inggris dan perancis sedikit – sedikit. Aku mengambil air sereh karena malam hari aku tidak suka minum kopi. Sebentar – sebentar mataku tidak dapat tertahan melayang ke meja panjang dimana di dekatnya terletak bar kapal. Dia bersama perwira – perwira lain minum kopi di sana. Setelah cangkirku kosong, aku mengucapkan selamat malam kepada kawan semejaku, lalu menuju ke salon untuk membaca buku sambil mendengarkan musik. Ku pilih tempat dudukku yang biasa, di sudut dari mana aku bisa melihat ke luar, jauh dari pintu masuk. Selintas – selintas ku lirik bayangan celana dan sepatu putih yang hilir mudik dari sebelah kaca. Perwira – perwira kapal sedang melakukan olah raga gerak jalan sesudah makan malam. ( halaman 164 )
    Sementara aku tenggelam ke dalam cerita bukuku, ku dengar pintu terbuka suara:
    “Seluruh kapal ini milik Anda, Nyonya.”
    Aku menegakkan kepala. Ku lihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
    “Mengapa?” hanya itulah yang dapat ku ucapkan.
    “Karena Nyonya adalah satu – satunya penumpang sekarang.”
    “Tadi ada lain – lainnya di kamar makan.”
    “Mereka baru turun ke kota.”
    Kami berpandangan seperti dua orang yang saling mengenal sejak berpuluh tahun; tanpa kekenesan, tanpa rabaan, baru kali itulah aku melihatnya baik – baik dari dekat. Dadaku tiba – tiba memanas.
    “Apa yang anda baca?” katanya, dan diambilnya buku dari pangkuanku, lalu duduk di sampingku.
    “Anda gemar sekali membaca,” nada suaranya tidak bertanya.
    “Gemar sekali,” jawabku.
    “Saya lihat Anda selalu menyendiri di pojok dengan sebuah buku.”
    Aku menegakkan kepala untuk benar – benar menatapnya.
    “Anda mengetahui benar kebiasaan saya.”
    “Semuanya,” katanya, pada mukanya terbayang kegembiraannya karena dapat mengejutkanku. “Anda sering bersama – sama dengan seorang Nyonya yang berkulit cokelat. Dia turun di sini saya kira.”
    “Ya, tadi pagi dia sudah turun.”
    Sekali lagi ku perhatikan kepuasan perasaannya.
    “Satu hal lagi. Anda adalah satu – satunya penumpang yang pernah menari dengan baik di kapal ini.”
    Aku tersenyum. Kami bersama – sama tersenyum sambil berpandangan; wajahnya, matanya. Rambutnya kelam seperti malam, tersembunyi di bawah topi kerjanya. Kami kemudian berbicara mengenai buku – buku, musik, dan apa saja yabg singgah di pikiran pada waktu itu. Dia mengajakku naik ke kamarnya untuk mengambil buku yang telah dibacanya, yang dikiranya aku akan menyukainya. Kamarnya seperti kamar perwira – perwira lainnya terbagi dua bagian: kamar kerja dan kamar tidur. Aku duduk di kursi kamar kerjanya sebentar, lalu kami kembali turun ke salon.
    “Anda juga mengikuti siaran – siaran musik klasik pada sore hari?” dia bertanya.
    “Selalu.”
    “Kalau anda mau melihat – lihat bagian bawah, besok pagi sesudah jam sepuluh saya antar.”
    Aku berterima kasih atas janjinya. Lalu kami berpisah. Aku kembali ke kamarku. Hatiku dipenuhi rasa bahagia dan kerinduan yang berkecamuk tidak menentu. Aku mencintainya, bisikku seorang diri. Setiap ku tatap matanya, ku lihat ada sinar yang menyala dan menghanguskan seluruh kesadaranku. ( halaman 165)

    Sehabis makan malam aku ke salon. Aku tahu dia akan datang, dan pengetahuan ini membikinku semakin tak sabar menantikannya. Dan sewaktu dia mengajakku naik ke tempatnya untuk mengambil buku lain, aku tahu bahwa aku seharusnya tidak menyetujuinya. Tetapi aku naik ke kamarnya. Ku lihat dia mengunci pintu dengan ketenangan yang kekal. Dia meletakkan kunci tersebut di depanku dan menatap wajahku. Untuk kesekian kalinya kami berpandangan. Dan begitulah. ( halaman 173)
    “Aku telah mengkhianati suamiku,” seperti membutuhkan pengakuan, aku berkata perlahan.
    “Ini yang pertama kalinya?”
    Aku mengangguk.
    “Kau menyesal?”
    Benarkah aku menyesal? Aku tidak menyesalinya. Kebahagiaan yang baru ku kecap bersamanya belum pernah ku rasakan. Seolah baru sekali itulah aku benar – benar mengenal kedalaman arti hidup antara laki – laki dan perempuan.
    “Aku tidak mengetahui namamu?” kataku kemudian. ( halaman 174)

    Kami berpandangan, seolah hendak menerobos isi hati masing – masing.
    “Kau lihat namaku di daftar penumpang. Panggillah aku Michel.
    “Michel,” ulangku setengah berbisik.
    “Dan kau, kau adalah penariku.”
    Aku hendak menyebutkan namaku, tetapi dia meneruskan bicaranya.
    “Ketika ku lihat kau menari, aku seperti seperti melihat sebuah boneka dalam mimpiku. Jauh sekali, tetapi terang dan keemasan. Aku boleh menyebutmu bonekaku yang mungil bukan?”
    Aku tersenyum. Aku bahagia. ( halaman 175)

    Di Marseille, Charles menunggu kami. Ketika dia secara kesopanan hendak mencium pipiku di geladak, aku hampir memalingkan mukaku. Yang ku temui adalah seorang laki – laki yang semakin menggendut perutnya. Keringatnya tajam berbau besi tua. Tangannya selalu bertengger dengan pongahnya di pinggang. Kalau berbicara jarinya mengacung ke depan hampir menyentuh hidungku. Aku dengan kecut mengundurkan diri satu atau dua langkah sambil menoleh untuk menyembunyikan rasa muak. ( halaman 181)
    *****

    BIOGRAFI PENGARANG
    NH. Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah tamat SMA bagian sastra ( 1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta ( 1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah ( 1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut Ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang.
    Karyanya : La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris ( 1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang – orang Tran (1985). Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Camus, La Peste, 1985).

    Wednesday, December 21, 2011

    bencana meletusnya gunung merapi

    bencana meletusnya gunung merapi


    Bencana meletusnya gunung merapi
    Efek Musibah meletusnya gunung Merapi
    Banyak masyarakat kehilangan lahan pertanian sebagai mata pencaharian mereka,banyak masyarakat sekitar terserang penyakit akibat abu yang dikeluarkan dari gunung merapi tersebut.Rumah warga terselimuti abu vulkanik.dan juga banyak warga yang terkena penyakit akibat debu vulkanik meletusnya gunung merapi itu.
    Cara kita menyikapi bencana gunung merapi
    Masyarakat jangan terlalu dekat dengan lokasi gunung merapi yang meletus,mencari informasi tentang gunung tersebut sehingga kita dapat mewaspadai meletusnya gunung tersebut.
    Hal yang harus dilakukan
    Memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan bantuan kita,dan terjun langsung ke tempat kejadian bencana tersebut dan menghibur para warga yang sedih karena bencana meletusnya gunung merapi tersebut.